Muhammad
SAW: Inisiator Perdamaian
Oleh: M. Syamsi Ali http://www.mentaritimur.com/mentari/mar07/muhammad.htm
Umat Islam di seluruh penjuru dunia
saat ini umumnya memperingati Maulid atau Kelahiran Rasulullah SAW. Terlepas
dari perdebatan sisi hukum syariatnya, mempelajari dan menghayati kehidupan dan
pengorbanan Rasulullah SAW adalah suatu keharusan dan, bahkan tidak berlebihan
jika dikatakan, menjadi kewajiban syara' (agama) bagi setiap Muslim. Ada dua
alasan pokok yang dapat dikemukakan:
Pertama: Islam menghendaki "ketaatan" kepada Allah. Tanpa
ketaatan kepada Allah, sesungguhnya tiada Islam. Untuk taat kepada Allah
dibutukan "ketaatan" kepada Rasulullah. Berbagai ayat dalam Al Qur'an
memerintahkan ketaatan kepadaNya, namun sekaligus memerintahkan ketaatan kepada
RasulNya. Sebaliknya, bermaksiat kepada Allah dikaitkan langsung dengan
kemaksiatan kepada RasulNya.
Kedua: Rasulullah telah dijadikan, tidak saja sebagai
"muballigh" (conveyer), namun sekaligus sebagai contoh tauladan
"hidup" bagi seluruh pengikutnya. Ketauladanan menuntut sebuah
komitmen untuk mengikut. Sedangkan untuk mengikut kepada seseorang atau sesuatu
diperlukan pengetahuan tentangnya.
Dengan demikian, dan sesuai dasar
Ushul fiqh: "Maa laa yatimmu bihil waajibu illa bihii fahuwa wajibun"
(sesuatu yang hanya dengannya suatu kewajiban menjadi terlaksana, maka ia
menjadi wajib), maka mendalami sirah (sejarah hidup) Rasulullah adalah merupakan
kewajiban yang tidak dapat ditawar. Hanya dengan mengetahui sirah Rasulullah
SAW, kita mampu melakukan ketaatan yang benar serta mampu mengikuti jejak
langkah kehidupan Rasulullah dalam kehidupan ini.
Mispersepsi Mengenai Rasulullah SAW
Tak disangkal bahwa mispersepsi (kesalah fahaman) mengenai Rasulullah banyak
terjadi, yang boleh jadi karena beberapa factor, yang dapat disebutkan antara
lain, karena memang kebodohan akan Islam dan Rasululullah SAW, manipulasi
informasi yang sesungguhnya khususnya oleh media massa, dan juga lebih karena
disebabkan oleh sikap dan perilaku dari pengikut Muhammad SAW yang masih jauh
dari suri tauladan beliau.
Salah satu kekeliruan faham yang
sering kita temui adalah bahwa Rasulullah SAW merupakan sosok yang keras, kaku,
serta berwatak anti damai. Lebih jauh, watak ini ditafsirkan bahwa sesungguhnya
Islam itu telah disebarkan ke seluruh penjuru dunia dengan mata pedang. Tapi
betulkah bahwa Rasulullah SAW berwatak kasar serta anti damai perdamaian?
Betulkah pula bahwa Islam telah disebarkan dengan kekuatan pedang?
Mengawali respon kepada klaim
tersebut di atas, ada baiknya dimulai dengan beberapa kutipan dari para tokoh
dunia maupun cendekiawan yang justeru dari pihak agama lain:
Mahatma Gandhi (The Young Indian, 1924):
"I wanted to know the best of the life of one who holds today an
undisputed sway over the hearts of millions of mankind. I became more than ever
convinced that it was not the sword that won a place for Islam in those days in
the scheme of life. It was the rigid simplicity, the utter self-effecement, his
devotion to his friends and followers, his fearlessness and his absolute
devotion and trust in his Lord. These and not the sword carried everything
before them"
Sir George Bernard Show (1936):
"If any religion had the chance of ruling over England and Europe within
the next hundred years, it could be Islam. I have always held the religion of
Muhammad in high estimation because of its wonderful vitality. It is the only
religion which appears to me to passes that assimilating capacity to the
changing phase of existence which can make itself appeal to every age. I have
studied him - the wonderful man and in my opinion far from being anti Christ,
he must be called the savior of humanity"
De Lacy O'Leary (1923):
"History makes it clear, however, that the legend of fanatical Muslims
sweeping through the world and forcing Islam at the point of swords upon
conquered races is one of the most fantastically absurd myths that historians
have repeated".
Demikian beberapa kesaksian non Muslim
sekaligus tokoh terkenal tentang ketinggian budi dan kelembutan perilaku serta
jauhnya Rasulullah SAW dari tuduhan kekerasan dan anti perdamaian. Pada
intinya, banyak ahli yang sepakat bahwa Muhammad telah membawa ajaran yang
damai serta telah disampaikan ke penjuru alam dengan pendekatan damai, jauh
dari kekerasan dan pemaksaan seperti yang digambarkan selama ini. Bahkan
tuduhan penyebaran Islam dengan memakai pendekatan kekerasan/pemaksaan, dinilai
sebagai bentuk mitos yang sangat luar biasa.
Memang dapat ditegaskan bahwa tidak
ada dan tak akan ada suatu agama maupun sistim sosial lainnya yang akan mampu
menyamai cara pendekatan Islam dan Rasulullah SAW dalam membangun dan
memelihara perdamaian dan keadilan bagi umat manusia. Baik ditinjau dari sisi
ajaran maupun sejarah, keduanya menunjukkan bahwa Islam dan RasululNya telah
mampu, tidak saja menjadi simbol perdamaian tapi justeru menjadi inisiator dan
pencipta perdamaian (peace maker). Beberapa alasan dapat dikemukakan untuk
mendukung pernyataan ini, al:
Pertama: Fleksibilitas dalam
Melakukan Perjanjian Damai
Bukti pertama akan ketinggian komitmen Rasulullah dalam upaya perdamaian adalah
kelapangan dada dan fleksibilitas beliau dalam menerima hasil-hasil pembicaraan
damai, yang justeru oleh pertimbangan kebanyakan orang awam dianggap sebagai
kekalahan. Tapi oleh Rasulullah, demi menghindari konflik dan peperangan,
beliau menerimanya dengan visi dan tujuan yang lebih besar. Kebesaran visi
menyadarkan beliau bahwa kemenangan justeru tidak selalu diraih lewat sebuah
keberhasilan jangka pendek.
Berikut dikutip sebagian dari sekian
banyak persetujuan (perjanjian/treaties) yang belia telah lakukan bersama warga
lain sepanjang sejarah hidup beliau:
- 1.Jauh
sebelum Rasulullah SAW diangkat menjadi Rasul Allah SWT, beliau telah
menunjukkan diri sebagai juru damai bagi berbagai kelompok suku yang
sering terlibat dalam peperangan itu. Salah satu yang dapat disebutkan,
ketika "Hajar Aswad" (batu hitam) terjatuh dari tempat aslinya
di sudut Ka'bah akibat banjir. Ketika itu, hampir saja terjadi pertumpahan
darah karena semua suku merasa paling berhak untuk mengembalikan ke tempat
aslinya, dipandang sebagai salah satu kehormatan dan prestise kesukuan
bangsa Makkah. Muhammad SAW, yang ketika itu baru berumur belia, justeru
keluar dengan ide yang cemerlang dan diterima oleh semua suku yang
bersengketa. Beliau mengusulkan bahwa penentuan siapa yang berhak
mengembalikan "hajar aswad" ke posisi semula ditentukan oleh
siapa yang paling dini memasuki masjidil haram. Ternyata, dari sekian
banyak pembesar Makkah yang berminat memasuki masjidil haram pertama kali,
beliau jugalah yang melakukannya. Namun demikian, beliu menyadari bahwa
kendati beliau berhak melakukan pengembalian hajar aswad, pasti akan
timbul rasa "kurang enak" di kalangan para pembesar suku Makkah
itu. Untuk itu, beliau menaruh "hajar aswad" dengan tangannya ke
atas sebuah sorban, lalu semua kepala suku dipersilahkan untuk
mengangkatnya secara bersama-sama dan diletakkan kembali ke posisi
aslinya. Subhanallah! Tindakan cemerlang nan bijak tersebut telah
menghindarkan pertumpahan darah, bahkan lebih jauh mengajarkan kebersamaan
dan keinginan untuk mencapai kebaikan secara gotong royong. Keberhasilan
Muhammad muda SAW tersebut merupakan cerminan watak asli yang damai serta
memiliki komitmen yang tinggi untuk mewujudkan perdamaian di antara sesama
manusia.
- 2. Di
awal hijrah Rasulullah, beliau menerima kedatangan utusan kafir Makkah di
Madinah yang berakhir dengan beberapa kesepakatan. Salah satu isi
kesepakatan tersebut bahwa "jikalau ada pengikut Muhammad SAW
melarikan diri dari Madinah ke Makkah, yang bersangkutan tidak harus
dikembalikan ke Madinah. Sebaliknya, jika ada pengikut Muhammad yang
melarikan diri dari Makkah ke Madinah, yang bersangkutan harus dipulangkan
ke Makkah". Bagi pemikiran umum, persetujuan tersebut sangat tidak
adil. Namun Rasulullah, dengan komitmen yang sangat tinggi untuk
menghindari konflik dan membangun perdamaian, mau menerimanya.
- 3.Perjanjian
Hudaibiyah adalah salah satu perjanjian yang sangat popular dalam sejarah
Islam. Salah satu isi perjanjian tersebut adalah bahwa Rasulullah tahun
itu harus kembali ke Madinah, dan hanya boleh melakukan ibadah ke Makkah
setahun kemudian. Selain itu, nama yang dipakai pada perjanjian tersebut
tidak boleh menggunakan title "Rasulullah", tapi memakai
kebiasaan arab membaggakan nama bapaknya, yaitu Muhammad bin Abdullah.
Bagi kebanyakan sahabat, isi perjanjian tersebut sangat melecehkan, bahkan
dianggap kekalahan di pihak Rasulullah SAW. Umar bahkan meng-ekspresikan
resistensinya kepada Rasulullah untuk tidak menerima persetujuan tersebut.
Namun demikian, ternyata sang pecinta damai (peace loving man), Rasulullah
SAW, tidak berkeberatan untuk menerima hasilnya.
- 4.Perjanjian
dengan delegasi Najran (Treaty of Najran) juga menjadi saksi sejarah
kebesaran jiwa Rasulullah SAW serta komitmennya yang tinggi dalam upaya
mewujudkan perdamaian. Pada tahun 10 Hijrah (631 M), beliau didatangi oleh
60 orang delegasi dari penduduk Kristen Najran, sebuah daerah yang
terletak sekitar 450 mil sebelah selatan Madinah. Mereka diterima oleh
Rasulullah di masjid Nabawi dan diperbolehkan untuk melakukan ibadah dalam
masjid sesuai keyakinan dan tatacara agama mereka. Selama tiga hari tiga
malam, mereka dan Rasulullah SAW melakukan dialog tentang
"tabiat" Tuhan (nature of God) dan Isa a.s. Namun akhirnya
mereka tetap pada pendirian mereka, dan menyatakan bahwa ajaran Muhammad
SAW tidak akan bisa diterima karena bertentangan dengan ajaran Kristen
yang mereka yakini. Kendati perbedaan teologis dengan mereka, Rasulullah
SAW tetap melakukan persetujuan damai yang dikenal dengan "'Ahd
Najran" (Treaty of Najran). Perjanjian damai tersebut berisikan
antara lain, bahwa "warga Kristen Najran mendapat keamanan Allah dan
rasulNya, baik bagi kehidupan, agama, harta kekayaan mereka. Tidak akan
ada intervensi dalam agama dan peribadatan mereka. Tak akan ada perubahan
dalam hak-hak dan kelebihan bagi mereka. Tak akan ada pengrusakan bagi
rumah ibadah atau symbol-simbol keagamaan lainnya. Jika ada di antara
mereka yang mencari keadilan atas orang-orang Islam, maka keadilan akan
ditegakkan di antara mereka". Treaty atau berbagai perjanjian yang
disebutkan di atas, menunjukkan komitmen yang luar biasa dari seorang
rasul dan pemimpin, negarawan, politikus sekaligus diplomat ulung yang
tiada bandingnya dalam sejarah. Yang mengagumkan dari semua itu, betapa
visi beliau begitu jauh ke depan melihat kemaslahatan yang lebih besar
diatas kepentingan jangka pendek. Komitmen Rasulullah SAW kepada kedamaian
dan perdamaian menjadi karakter dasar dari semua ini.
Kedua: Rasulullah Membuktikan Ajaran
Islam yang Cinta Damai
Rasulullah SAW adalah pembawa risalah yang agung. Sebagai pembawa risalah,
tentu beliau dituntut untuk, tidak saja menyampaikan, tapi sekaligus
mencontohkannya secara konkrit bagaimana pelaksanaanya. Untuk itu, jika kita
kembali kepada ajaran-ajaran dasar Rasulullah SAW (al-Islam), akan didapati
dengan mudah bahwa Islam memang mengajarkan dan mewujudkan kedamaian serta
menjunjung tinggi perdamaian.
Pengambilan nama bagi agama ini,
yaitu Islam yang bersumber dari "salama" yang berarti selamat dan
juga "silm dan salaam" (damai) menegaskan karakter dasar dari ajaran
Islam itu sendiri. Berbagai aspek Islam kemudian, semuanya bermuara kepada
aspek luhur ini, bahkan termasuk perintah berperang sekalipun, tidak lain
bertujuan untuk menegakkan kedamaian dan keadilan. Sehingga tak satupun
substasi agama Islam kecuali membawa kepada nilai-nilai kedamaian dan
perdamaian.
Shalat misalnya, adalah bentuk
ibadah tertinggi dalam Islam. Shalat dimulai dengan takbir, yaitu menjunjung
tinggi Asma Allah menhunjam erat ke dalam jiwa sang pelaku. Maka shalat adalah
bentuk dzikir (mengingat Allah) tertinggi, yang dengannya seorang Muslim
merasakan kedamaian bathin yang tak terhingga. Namun kedamaian jiwa tidak
berakhir, tapi harus diteruskan dengan kedamaian yang lebih luas, yaitu
kedamaian sosial. Untuk itu, shalat tak akan menjadi valid ketika tidak
diakhiri dengan komitmen menyebarkan perdamaian kepada sesama. Salam yang
diucapkan di akhir shalat adalah bentuk komitmen tertinggi dari seorang Muslim
dalam mewujudkan perdamaian sosial.
Demikian pentingnya
"damai" dan "perdamaian" dalam pandangan Islam, Rasulullah
SAW pernah bersabda, "Kamu tak akan masuk Syurga sehingga kamu saling
mencintai. Hendakkah saya tnjukkan padamu sesuatu yang jika kamu melakukannya,
niscaya kamu akan saling mencintai?" Sahabat menjawab: "Betul wahai
Rasulullah". Sabda beliau: "Tebarkan salam (damai) di antara
kalian".
Menyebarkan salam menurut hadits
tersebut tentu bukan hanya mengumbar kata-kata. Tapi yang terpenting, adanya
komitmen kita untuk mewujudkan salam yang menyeluruh (comprehesive peace);
salam (damai) secara individu danjuga damai secara sosial. Dimulai dengan kata,
dihayati dalam jiwa dan dibuktikan dengan amalan nyata.
Orang-orang beriman seperti inilah
yang digelari "hamba-hamba Allah" ('IbaadurRahmaan), yang jika
berjalan di atas bumi ini, mereka rendah hati. Bahkan jika disapa secara jahil
(uncivilized manner) oleh orang-orang bodoh, mereka tetap merespon dengan
"Salaam" (in peaceful manner). Mereka tidak akan dan tidak perlu
melakukan reaksi spontan yang terjatuh dari norma-norma damai. Mereka sadar,
bahwa Islam sangat meninggikan reaksi positif yang dilandaskan kepada
kemaslahatan besar serta senantiasa berbasiskan kedamaian.
Ketiga: Al Qur'an Diturunkan dalam Suasana
Damai
Selain mengandung berbagai komitmen damai dan perdamaian, al Qur'an juga
digambarkan diturunkan dalam sebuah malam yang penuh kedamaian. Di S. al Qadar
disebutkan: "Dan para Malaikat turun ke bawah dan juga Ruh (jibril) atas
perintah Tuhan mereka dengan (membawa) semua perintah. (Malam itu penuh dengan)
"Salaam" atau kedamaian sehingga fajar telah tiba".
Gambaran turunnya Al Qur'an seperti
ini tidak lain dimaksudkan bahwa ia datang dalam suasana yang sangat damai, dan
sudah pasti ditujukan untuk menciptakan suasana damai yang abadi, sehingga masa
yang ditunggu tiba, yaitu Kiamat. Kata-kata "salaam hiya hatta mahtla'il
fajar" boleh jadi gambaran kedamaian abadi sehingga "fajar"
kebesaran Ilahi tiba dalam bentuk al Qiyaamah tiba kelak.
Keempat: Suasana Syurga Digambarkan
penuh dengan "Kedamaian"
Nama Syurga itu sendiri, salah satunya, adalah "Rumah Kedamaian"
(Daarussalam). Allah menfirmankan: "Dan Bagi mereka "Darussalam /
Rumah Kedamaian di sisi Tuhannya dan Allah adalah Wali bagi mereka atas apa
yang mereka telah perbuat".
Di saat Allah ditemui oleh para
hambaNya di Syurga kelak, mereka mengucapkan "Salaam" (Kedamaian).
Allah berfirman: "Salam penghormatan kepada mereka di saat menjumpaiNya
adalah "Salaam", dan Allah menyediakan bagi mereka pahala yang
besar".
Setiap kali Malaikat memasuki dan
menjenguk mereka, para Malaikat mengucapkan "Salaam": "Dan para
malaikat masuk kepada mereka seraya berkata: Salaam (selamat/peace) atas kamu
semua atas kesabarannya. Sungguh indah rumah abadi (Syurga)".
Kelima: Allah Menamakan diriNya
serta Sumber Kedamaian (Salaam)
Allah sendiri menamai diriNya dengan, salah satunya, as-Salaam (Yang Damai).
"Dialah Allah, tiada tuhan selain Dia yang Menguasai, Yang Suci, Yang
Damai…". Bahkan Allah disebutkan oleh Rasulullah dalam salah satu sunnah
dzikir sebagai "Sumber dan tempat kembali" kedamaian abadi,
sebagaimana disebutkan dalam dzikir: "Allahumma Antas Salaam wa minKa as
Salaam, fahayyinaa Rabbanaa bissalaam…..".
Keenam: Perintah Allah untuk Berbuat
Baik (al-ihsan)
Allah dalam Al Qur'an memerintahkan RasulNya untuk berbuat baik tanpa ada
batasan dan diskriminasi: "Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah
berbuat kepadamu".
Sebagian ulama menilai, perintah
kepada Rasulullah ini adalah perintah yang sangat luar biasa. Bagaimana mungkin
Rasulullah yang manusia biasa, dengan segala keterbatasan manusiawi seperti
pertimbangan akal, perasaan, dll., akan mampu menyamai Allah dalam perbuatan
baik (ihsan)? Untuk itu, tidak ada maksud lain dari ayat ini kecuali bahwa
perbuatan baik dalam kacamata Islam tidak dibatasi oleh berbagai batasan
manusia. Kiranya, perbuatan baik (ihsan) tidak dilakukan secara diskriminatif
karena suku, golongan, warna kulit, tingkat sosial ekonomi, bahkan keyakinan
agama sekalipun.
Rasulullah SAW telah membuktikannya.
Beliau bertetanggan dengan Yahudi, mengadakan perjanjian dengan kaum Kristiani,
dan semua mengakui ketinggian "ihsan" (budi luhur) Rasulullah SAW.
Maka sangat wajar, jika Allah sendiri yang memberikan pengakuan: "Sungguh
tiada kuutus kamu kecuali sebagai rahmatan bagi seluruh jagad". Bahkan
lebih jauh: "Engkau adalah sosok yang berbudi luhur yang maha tinggi"
(S. al Qalam).
Rasa kasih dan sayang Rasulullah
ini, tidak saja terbatas pada bangsa manusia apalagi kaum Muslim saja. Tapi
juga telah dibuktikan terhadap seluruh makhluk ciptaan Allah, bahkan kepada
hewan sekalipun. Beliau menceritakan: "Suatu ketika, ada seorang lelaki
yang sangat kehausan karena panas terik yang menggigit. Untuk menghapus rasa
dahaga tersebut, sang lelaki menemukan sebuah sumur yang dalam. Beliau pun
memasukinya dan minum sepuasnya, lalu memanjat ke atas. Sesampai di atas,
beliau menemukan seekor anjing yang kehausan dan hampir mati darinya. Maka
beliau sekali lagi memasuki sumur tersebut, mengisi sepatunya dengan air dan
menggigitnya seraya memanjat dinding sumur ke atas. Sesampai di atas, belaiu
memberikanya kepada sang anjing. Karena perbiatan baiknya kepada anjing ini,
Allah mengampuni dosanya dan memasukkannya ke dalam Syurga" Para sahabat
bertanya: "Adakah pahala yang didapatkan dari seekor hewan?" Belaiu
menjawab: "Pada semua makhluk hiudp ada pahala kebaikan".
Bahkan suatu ketika, beliau
menemukan sebuah saran semut dibakar. Beliau bertanya: "Siapa yang
melakukan ini?" Para sahabat menjawab bahwa merekalah yang melakukannya.
Beliau kemudian mengatakan: "Tidak ada yang berhak mempergunakan api untuk
membakar kecuali Tuhan api itu sendiri".
Semua ini membuktikan bahwa
"ihsan" (komitmen kebaikan) Rasulullah SAW adalah universal, tanpa
ada diksriminasi, bahkan kepada hewan sekalipun. Jauh sebelum
organisasi-organisasi hak-hak hewan (animal rights organizations) tumbuh di
dunia barat, Islam dan RasulNya telah mengajarkan kasih sayang kepada hewan.
Hadits lain mengisahkan: "Seorang wanita masuk neraka hanya karena
mengikat seekor kucing tanpa memberikan makan, dan tidak juga membiarkannya
mencari makannya".
Akhirnya, tuduhan klasik yang tidak
berdasar terhadap Rasulullah masih dapatkah dipertahankan? Apakah tuduhan bahwa
Rasulullah SAW adalah sosok yang kaku, keras, serta anti damai masih dapat
diterima? Saya yakin, dengan berbagai fakta sejarah dan merujuk kepada
kenyataan ajaran Islam yang sedemikian agung, tak seorang manusia berakal pun
yang akan menolak bahwa Muhammad, Rasulullah SAW, tidak saja merupakan simbol
kedamaian dan perdamaian sejati, tapi telah menjadi "Peace Initiator"
dan "Peace Maker" sepanjang sejarah manusia.